Kyai Zainuddin Mojosari, Sosok Alim dan Unik

 Kyai Zainuddin Mojosari, Sosok Alim dan Unik

KH. Zainudin berasal dari Bojonegoro. Sewaktu muda beliau belajar di pondok Langitan Babat. Sudah menjadi tradisi yang baik dikalangan para ulama untuk menjodohkan putrinya dengan santri-santri berbobot, sama halnya dengan kisah KH. Zainudin yang prestasinya sangat menonjol, beliau diangkat kyainya untuk dijadikan menantu dan meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk.


KH. Zainudin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mojosari, Loceret Nganjuk Jawa Timur generasi ketujuh. Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk didirikan pada tahun 1710 M oleh Kyai Ali Imron, Bendungan. Di Pondok Mojosari sangat berbeda dengan pondok salafiyah pada umumnya. Setiap harinya tidak nampak santri-santri belajar dengan tekun, melakukan riyadhah atau tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Para santri nampak bebas bergerombol bersenda gurau, ngobrol asalkan mereka cukup mengaji dengan tertib dan menjalankan shalat berjamaah. Keantikan Pondok Pesantren Mojosari ini ternyata memiliki sejarah pada masa Kh Ali Iimron. Di bawah pimpinan KH. Zainudin Pondok Pesantren Mojosari mencapai puncak kejayaannya.


KH. Zainudin sebagai pengasuh Pondok Pesantren Mojosari memiliki cara unik untuk membangunkan santrinya. Beliau membangunkan santrinya dengan memanggil nama santrinya satu persatu. Apabila masih terdapat santri yang belum bisa bangun seperti pada musim hujan yang terlalu nyaman dibuat tidur, KH. Zainudin membawa selembar kain serbet yang sudah dibasahi air untuk ditempelkan pada badan siapa saja yang belum bangun, tidak peduli itu santri atau tamu yang hanya singgah di Pondok Pesantren.

KH. Zainudin merupakan sosok yang disiplin dan istiqomah. Meskipun beliau dikenal sebagai Waliyullah kegiatan beliau sehari-hari sama halnya seperti petani pada umumnya. Karamahnya tak pernah dibuat pameran, bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh. KH. Zainudin mengajar santri sampai pukul 22.00 setelah itu beliau beristirahat sampai pukul 02.00 setelah bangun beliau segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat tahajud, membaca Al-Qur’an atau melakukan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Usai shalat subuh kegiatan beliau dilanjutkan dengan pengajian kitab kecil maupun besar sampai pukul 07.00. setelah selesai pengajian beliau mengambil sapu lidi untuk membersihkan halaman rumah sampai ke kandang. Di rumah beliau banyak sekali hewan piaraan seperti sapi, kambing, kuda, bebek, ayam dan sebagainya. Ternyata beliau sangat penyayang terhadap binatang dan rajin menjaga kebersihan lingkungan. Kedisiplinan beliau pada kebersihan sungguh mengagumkan, sehingga kandang-kandang hewan piaraanya tidak kotor sama sekali, apalagi halaman atau kamar-kamar rumahnya nampak begitu bersih. Walaupun dirumahnya terdapat pembantu yang bertugas merawat dan memberi makan hewan piaraannya tetapi beliau selalu ikut turun tangan berkeliling memberi makan hewan-hewan, ini membuktikan bahwa beliau memang sangat penyayang terhadap binatang. Tidak hanya itu di pekarangan rumah beliau juga banyak ditanami buah-buahan seperti sawo, jambu dan buah-buahan lainnya. Ada kalanya sambil menunggu shalat subuh beliau mengelilingi pekarangan rumahnya sambil mengumpulkan buah-buahan yang berjatuhan untuk makanan ternak.


Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, KH. Zainudin bekerja keras dengan menanam pisang, jagung dan singkong dengan mencangkulnya sendiri. Dan untuk keperluan kesehatan, beliau membuat apotek hidup di rumahnya. Banyak sekali obat-obatan tradisional yang memiliki manfaat, tumbuh dengan terawat, seperti daun sirih, kumis kucing, daun pegangan, temulawak, kunyit, tanaman sambiloto dan lain sebagainya.


KH. Zainudin memiliki selera humor tinggi sehingga santri-santri sangat akrab dengan beliau. Bahkan beliau sering memanggil santrinya dengan nama julukan seperti pada Djazuli Utsman, anak Muhammad Utsman, seorang naib dari Desa Ploso, Kediri. Beliau menjuluki Djazuli Utsman dengan sebutan Blawong. Blawong merupakan nama seekor burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu di kerajaan Majapahit. Ternyata kh zainudin tidak sembarangan dalam memberikan nama julukan pada santrinya. Karena diyakini julukan tersebut dapat menembus hal-hal yang bersifat batiniah, termasuk masa depan santrinya.
Suatu hari para santri Mojosari bersama pengurus Pondok dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul melakukan musyawarah untuk melaksanakan imtihan (slametan) pengajian Pondok akhir tahun yang biasa dilaksanakan beberapa hari baik melibatkan pondok maupun masyarakat Mojosari. Peserta musyawarah bersepakat bahwa perayaan imtihan ini harus dilakukan semeriah mungkin. Terdapat sebagian masyarakat yang mengusulkan adanya kesenian wayang wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya. Usulan tersebut akhirnya disetujui oleh KH. Zainudin tetapi dengan syarat, kegiatan tersebut dilakuakan di awal dan di luar pondok (kampung). Maka bersemangatlah masyarakat mojosari karena pada waktu itu 90% masyarakat mojosari masih abangan (golongan penduduk jawa muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks) dan terkenal sebagai tempatnya maksiat. Kegiatan itu juga di sponsori oleh santri-santri dari Blitar, Jombang, Ponorogo dan Banyumas.


Kegiatan yang dilaksanakan beberapa hari itu nampaknya membuat masyarakat Mojosari dan Pondok merasa gembira. Sampai berita ini ternyata terdengar sampai luar Nganjuk dan sampai pada telinga KH. Hasyim Asyari. Akhirnya KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Sansuri berkumpul untuk melakukan musyawarah. Mereka khawatir bahwa kegiatan tersebut akan memberikan dampak yang buruk terhadap santri. Karena dari musyawarah tersebut sama sekali tidak menemukan kesepakatan siapa saja yang akan datang menemui KH. Zainudin, akhirnya KH. Hasyim Asyari berniat untuk mengirimkan surat kepada KH. Zainudin agar melarang santrinya menyelenggarakan kegiatan yang berbau munkarot.


Namun sebelum mengirimkan surat kepada KH. Zainudin, KH. Hasyim Asyari bermimpi shalat berjamaah dengan para ulama dan yang menjadi imam dalam shalat tersebut adalah KH. Zainudin sedangkan KH. Hasyim Asyari berada pada shaf agak belakang. Maka KH. Hasyim Asyari mengurungkan niatnya untuk mengirimkan surat tersebut, karena beliau segan dan sangat menghormati KH. Zainudin.


Keluarbiasaan lain yang dimiliki oleh KH. Zainudin yaitu tingginya mata batin terhadap santrinya. Beliau sudah mengetahui bahwa santri kesayangannya bakalan menjadi kyai di desannya masing-masing. Hal ini terjadi pada Djazuli Utsman, santri kesayangan KH. Zainudin yang dijulukinya dengan sebutan Blawong. Pada waktu itu Djazuli Utsman konon sudah ada di Batavia untuk masuk stovia, sekolah kedokteran tempo dulu. Karena KH. Zainudin sangat menggetahui bahwa Djazuli Utsman bakalan menjadi ulama besar, maka dikirimlah surat ke Stovia atas kehendak KH. Zainudin yang bertujuan supaya Djazuli Utsman segera pulang, karena menurutnya Djazuli Utsman tidak cocok sekolah disana. Setelah surat itu sampai di Stovia Djazuli Utsman tidak bisa menolak perintah kyai besar atau KH. Zainudin itu, akhirnya ia memutuskan untuk pulang dan kembali ke pondok pesantren Mojosari yang diasuh KH. Zainudin. Kenyataannya memang demikian, Djazuli Utsman akhirnya dikenal sebagai ulama pemimpin Pondok Pesantren Ploso, Kediri.


Tidak berhenti disitu, berkat ketenaran KH. Zainudin, banyak sekali masyarakat awam datang berkunjung ke pondok pesantren mojosari yang berasal dari berbagai penjuru untuk meminta doa dan berkah.

Oleh: Dhoni Arianti Sonah

Digiqole ad

Hafidz Yusuf

Related post